Beberapa
bangku itu masih ditempati beberapa orang. Ramai. Entah ekspresi apa yang
mereka luapkan. Tapi, berbeda dengannya, raut wajah yang sulit untuk
dijelaskan. Dia tidak menangis, dia tidak tertawa, dia tidak marah, tidak pula
senang. Beberapa orang mencoba mengajaknya berbicara. Hanya satu kata yang
selalu ia katakan – “biarlah” . Aku? Aku tidak tahu apa yang harus aku
lakukan. Bunga-bunga itu tampak menghiasi sekeliling rumah ini. Pita hitam.
Hari ini mungkin hari terakhir kami bisa melihatnya. Langkah seorang ibu yang
meronta, menangis, meratapi semuanya. Sementara dia, dia hanya diam. Aku tahu
bagaimana perasaanya saat ini. Aku sendiri tidak berani mendekatinya. Air mata yang kutahan akhirnya jatuh juga. Malam
tadi – masih tergambar jelas, tertawa bersama,
bercengkrama tentang masa depan, mengkhayal tentang masa depan. Menegak sebotol
top beer, seolah tidak pernah ada kematian. Aku pun merasakan hal yang sama,
aku berpikir aku tidak akan mati hanya dengan menegak sebotol top beer. Tapi,
bukan itu sebabnya. Dia, lelaki yang selalu aku kagumi masih duduk terdiam.
Menemani kekasihnya, untuk terakhir kali. Dia menatap kearahku, menatapku
tajam, seolah ingin memelukku erat-erat. Air matanya menetes juga. Kalung salib
dilehernya, digenggam erat-erat, membacakan doa untuk kekasihnya. Aku
tertunduk, menangis. Aku beranikan diri untuk mendekatinya.
“Dia adalah milik-Nya.”, kata-kata itu yang mampu ku bisikkan, tepat saat dia
memelukku.
“Dan kau? Kau juga miliknya. Jadi kau juga
akan meninggalkan ku?”, jawaban yang sangat menyakitkan.
Aku menangis
dipelukannya. Aku menangis karena aku hanya bisa mengaguminya, aku tidak akan
pernah memilikinya. Dia adalah milik sahabatku, meski saat ini dia sudah di
surga.
0 komentar:
Posting Komentar