Hari-hari
mulai kami lewati. Dan aku pun mulai mampu menerima kehadiran Brian. Dia tidak
seperti yang ku bayangkan. Dia jauh lebih dewasa, lebih pintar, lebih sempurna.
Kami semakin tidak dapat terpisahkan. Tak ada satu hari pun kami lewati tanpa
bersama-sama. Aku belum pernah merasakan persahabatan yang bergitu erat bagiku.
Sahabat-sahabat yang selalu ada disaat aku senang maupun aku dalam duka.
Sahabat yang selalu menjagaku. Yaa, selain karna aku satu-satunya cewe disitu.
Terimakasih Tuhan, Kau turunkan malaikat pelindung untuk selalu menjaga ku.
Brian
jauh lebih peduli padaku, dibandingkan Rangga. Mungkin karena aku cewe. Kadang
aku hanya curhat pada Brian saat Rangga nggak ada. Dia benar-benar malaikat.
Malaikat yang selalu menunjukkan jalan keluar saat aku terbelenggu dalam
masalah. Dan hanya Brian yang mengerti perasaan ku. Bukan Rangga. Tapi aku
hanya menganggapnya sebagai seorang sahabat. Tidak lebih. Karena dalam lubuk
hatiku, aku masih memendam rasa pada Rangga.
Rangga
yang baru saja menjadi Mahasiswa baru di salah satu universitas negeri di Jogja
tentu sibuk dengan semua urusan-urusannya. Tapi, selalu dia usahakan untuk
berkumpul dengan aku dan Brian, walaupun hanya satu sampai dua jam saja. Aku
memang paling muda diantara Rangga dan Brian. Usia ku masih 16 tahun. Yaa,
masih ABG.
Aku dan
Rangga satu sekolah sejak SMP. Dan itulah sebabnya mengapa aku sangat dekat
dengannya, tapi tak bisa lebih dari sekedar sahabat. Karena kami dulu bertiga.
Aku, Rangga, dan Agnesia Aghatta ( Atta ). Rangga dan Atta memang tidak
berpacaran. Tapi mereka saling mengasihi. Mereka saling mencintai. Tidak
sepertiku, yang hanya mampu mengagumi, memendam perasaan.
Flashback
setahun yang lalu, malam itu kami keluar malam. Kami pergi ke sebuah cafѐ, dan memesan beberapa
beer. Tak banyak memang. Dan kami menikmatinya hingga larut malam. Kami pulang
pukul 01.00 malam WIB. Saat itu, Rangga yang menyetir mobil. Aku tau,
benar-benar tau bahwa dia tidak mabuk. Tapi entah mengapa, Rangga mengemudi
sangat kencang. Dan akhirnya dia tak mampu lagi mengendalikan mobil itu. Kami
menabrak tiang pembatas jalan. Mobil Rangga terbalik. Aku sangat ingat waktu
itu, Atta mencoba meringkukku, melindungiku. Sementara Atta terjepit pintu dan
atap mobil. Atta memelukku erat. Rangga tak sadarkan diri, dan wajahnya penuh
darah. Sementara Atta tak bergerak sama sekali.
Asap
hitam mulai memasuki paru-paruku. Aku tak mampu lagi berteriak. Ku coba raih
tangan Rangga, dan ku genggam erat tangan Atta. Mungkin ini adalah terakhir
kali aku melihat mereka. Hitam. Entah
apa yang terjadi saat itu, aku tak mengingatnya lagi. Aku hanya mendengar
orang-orang di luar mobil mencoba menolong kami bertiga. Dan semakin lama suara
itu hilang. Hening.
Aku
mulai sadar. Aku berada dalam ruangan, yang penuh bau obat. Aku tau aku dimana.
Dan aku belum mati. Mama, Papa, kak Banyu, semua ada didekatku. Mereka menangis
memelukku. Aku tidak mengalami luka yang berarti, dan aku segera tersadar akan
keadaan kedua sahabatku. Ku paksakan untuk bengkit, meskipun dokter melarangku.
Rasa sakit tak ku perdulikan lagi. Aku ingin mencari kedua sahabatku.
Aku tak
percaya. Sama sekali tak percaya. Atta meninggalkan kami berdua. Tuhan, apakah harus Kau ambil sahabat kami?
Apakah Kau tidak tau Tuhan, betapa berartinya Atta untuk ku dan Rangga? Aku
menangis memeluknya. Aku kehabisan kata-kata. Beberapa jam yang lalu aku masih
melihat senyum diwajahmu. Beberapa jam yang lalu, kamu masih menggenggam erat
tangan ku. Coba genggam lagi, Ta! Genggam tanganku! Bagaimana dengan Rangga, Ta?
Peluk aku lagi, Ta! Mengapa kamu meninggalkan aku dan Rangga tanpa pamit?
Haruskah seperti ini caramu meninggalkan kami, Ta? Kamu masih hidup, Ta.
Disini, dihati ku. Tak akan pernah aku lupa akan semua memori mu.
Dan
saat itulah masa sulit kami. Kami belum siap untuk kehilangan sahabat juga
kekasih kami yang begitu berarti dalam hidup kami. Tapi setahun telah kami
lewati tanpanya. Meski tanpa Atta, kami akan terus berjuang. Dan selalu berdoa
untuknya.
0 komentar:
Posting Komentar